Merawat Citarum Agar Harum


Citarum dahulu di elu-elukan sebagai sungai dengan aliran air yang jernih dan menjadi sumber kehidupan utama bagi masyarakat yang tinggal di hulu hingga hilirnya. Namun sekarang, citra sungai terpanjang dan terbesar di Provinsi Jawa Barat ini tidaklah seperti dahulu lagi.


Tak bisa dipungkiri, sejumlah media massa baik nasional maupun internasional telah menyematkan gelar “buruk” kepada Citarum, di antaranya:
“The Dirtiest River” The Sun, 4 Desember 2009, “Citarum, The World Dirtiest River” International Herald Tribune, 5 Desember 2008, “Key River Suffers Upstream, Downstream Pollutan” Jakarta Post, 12 November 2009 “Citarum Sungai Limbah” Kompas, 25 November 2009, “Indonesia’s Citarum: The World’s Most Polluted River,” The Diplomat.com, 28 April 2018 (Sumber: Bappenas)

Sumber Foto: Greenpeace Indonesia

Harus diakui, persoalan Sungai Citarum kini begitu rumit. Di satu sisi, sungai yang aliran airnya membelah delapan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat ini adalah berkah karena menjadi sumber air bagi tiga waduk besar yang berfungsi sebagai penyuplai irigasi. Namun disisi lain, ironisnya sungai ini dijadikan tempat pembuangan limbah bagi pabrik-pabrik nakal disepanjang bantaran sungai.

Persoalan multikompleks seperti limbah industri, pertanian, peternakan, serta rumah tangga yang tak terkendali ikut memperkeruh kualitas air. Akibatnya, air yang bersumber dari Gunung Wayang di Bandung Selatan ini jadi tak layak konsumsi. Sebab, parameternya tidak memenuhi syarat untuk kebutuhan air minum (Sumber: Mongabay.co.id)

Sebuah studi yang dilakukan oleh Blacksmith Institute pada tahun 2013 menemukan bahwa tingkat timbal di Sungai Citarum mencapai 1.000 kali lebih buruk daripada standar Amerika Serikat untuk air minum. Dengan polusi berat dari timbal, aluminium, mangan, dan besi sejak tahun 2002, Citarum belum pernah memenuhi standar kualitas air Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Walaupun Indonesia memiliki sumber air permukaan sebanyak 6% dari seluruh sumber air permukaan dunia, dan 21% dari total sumber air di wilayah Asia Pasifik, namun masalah air bersih menjadi masalah yang terus menghantui masyarakat di Indonesia. Lebih dari 100 juta warga Indonesia tidak memiliki akses atas sumber air yang aman, dan lebih dari 70% warga Indonesia mengkonsumsi air yang terkontaminasi. Penyakit yang diakibatkan konsumsi air yang tidak bersih –seperti diare, kolera, disentri, menjadi penyebab kematian balita kedua terbesar di Indonesia. Dan setiap tahunnya, 300 dari 1.000 orang Indonesia harus menderita berbagai penyakit akibat mengonsumsi air yang tidak bersih dan aman (Sumber: Greenpeace)

Lantas, jika sudah begini apa yang harus kita lakukan?

Yakin ini sudah cukup?

Berbagai kampanye “Mari rawat sungai kita,” “Stop buang sampah ke sungai,” “Buang limbah ke sungai berarti merusak ekosistem” sudah banyak berseliweran di berbagai media publikasi. Namun, pertanyaannya apakah itu cukup?  

Sumber Foto: Kompasiana

Kampanye merawat lingkungan mungkin jadi salah satu faktor pendukung wujud aksi nyata masyarakat. Tentu saja ini sudah barang pasti perlu, bahkan memang harus ada. Namun, saat ini Citarum sedang menunggu aksi nyata masyarakat untuk mengembalikan fungsi utamanya atau malah bisa jadi haknya sebagai sebuah sungai. Jadi bukan hanya selebaran ajakan untuk merawat lingkungan saja namun masyarakat juga perlu diberikan edukasi yang berkelanjutan. 

Jika bisa berbicara, mungkin Citarum saat ini sedang marah besar, karena kecantikannya yang dahulu di puja-puja lambat laun makin pudar oleh tangan-tangan rakus dan tak bertanggung jawab.

Apa yang sudah dilakukan pemerintah?

Berbagai upaya mengembalikan fungsi awal Sungai Citarum telah dilakukan pemerintah baik pusat dan daerah. Mulai dari membuat kebijakan hingga program unggulan. Namun, hasilnya memang belum sepenuhnya berhasil, terbukti dengan adanya gelar baru untuk Sungai Citarum di tahun 2018 sebagai sungai paling terkontaminasi di dunia, seperti yang penulis singgung di awal tulisan.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Mogabay.co.id, Program Kali Bersih (PROKASIH) merupakan kegiatan awal pemulihan kondisi Citarum yang diinisiasi pemerintah. Lalu, Program Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMIP) hingga Program Citarum Bersih, Sehat, Indah, dan Lestari (Bestari).

Menjelang akhir 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dibawah arahan Menteri Luhut Binsar Pandjaitan mewacanakan akan dibuatnya instalasi pengelolaan limbah (IPAL) komunal sebagai langkah pemulihan lanjutan. Langkah ini diambil guna memimalisir limbah dan sampah masuk ke wilayah perairan. Sebab, 80% sampah laut berasal dari daratan yang merupakan persoalan besar.

Kementerian Perindustrian juga ikut dilibatkan dengan tujuan meningkatkan pengawasan. Mengingat, industri di sepanjang hulu sungai hingga muara berjumlah 608 unit, yang setengahnya hampir didominasi industri tekstil sebanyak 468 unit.

Kemudian, seperti dilansir dari Okezone.com, guna mempercepat revitalisasi Sungai Citarum, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) meluncurkan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Citarum Harum. 

KKN ini melibatkan seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di seluruh Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Secara berkelanjutan, mahasiswa akan melaksanakan KKN disepanjang hulu hingga hilir Sungai Citarum.KKN ini melibatkan seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di seluruh Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Secara berkelanjutan, mahasiswa akan melaksanakan KKN disepanjang hulu hingga hilir Sungai Citarum.
Menristekdikti, Mohamad Nasir mengatakan program ini merupakan respons dari arahan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan pencemaran di Sungai Citarum. Pemerintah berharap, dengan adanya keterlibatan perguruan tinggi di Jabar maupun DKI Jakarta akan berdampak signifikan pada Sungai Citarum dalam waktu dua tahun ke depan. Diharapkan mahasiswa juga bisa benar-benar memberi kontribusi. Baik dalam memberikan pendampingan kepada masyarakat untuk menaikkan kualitas taraf hidup maupun dalam pendidikan serta kualitas dalam pengelolaan lingkungan.

Pekerjaan pemerintah untuk membuat Sungai Citarum harum tak perlu kita caci namun mesti kita apresiasi. Memang Sungai Citarum masih berbau menyengat namun jangan dijadikan penghambat untuk kita semua bisa terlibat untuk membuat Citarum kembali hebat. 

Indonesia bisa saja meniru Jerman

Sampah yang mengapung diatas permukaan sungai ataupun yang mengendap dibawahnya menjadi pemandangan umum yang biasa masyarakat Jerman lihat pada Sungai Elbe. Tapi itu dulu. Sekarang? Pemandangan horor itu hampir dipastikan sudah tidak ada.

Sungai Elbe bersumber dari Republik Ceko dan bermuara ke utara, di dekat Hamburg. (Sumber: Brittania.com) Sungai Elbe dahulu bahkan pernah mendapat cap sebagai calon sungai mati. Hingga penyatuan Jerman tahun 1990, Jerman Timur menyalurkan air kanalisasinya ke sungai Elbe tanpa dibersihkan terlebih dahulu. (Sumber: Deutsche Welle Broadcast)

Pada tahun 1988, Pakar Biologi dari Universitas Hamburg, Veit Hennig mengatakan bahwa ada penelitian yang menemukan campuran racun yakni 16.000 ton Nitrogen, 10.000 ton Fosfor, 23 ton air raksa dan tiga ton campuran kimia Pentaklorofenol yang berkadar racun tinggi terkandung dalam air Sungai Elbe dan megarah ke laut. Akibatnya, ikan-ikan yang hidup di sungai itu menderita sakit. (Sumber: Deutsche Welle Broadcast)

Yang menarik adalah bagaimana kerusakan yang bahkan sulit untuk dikembalikan seperti semula itu sekarang bisa diperbaiki? Masih menurut Veit Hennig, langkah pemerintah Jerman adalah menutup banyak pabrik di bekas Jerman Timur, pemurnian air limbah dari kanalisasi yang terus-menerus dilakukan, serta peraturan lingkungan yang ketat telah menyelamatkan Elbe, dan sungai-sungai Jerman lainnya.

Sumber Foto: dw.com (Deutsche Welle)

Pemancing dan orang yang berenang di sungai sekarang sudah menjadi pemandangan lazim di Elbe dan sungai-sungai lainnya. Berbagai binatang juga kembali, termasuk ikan paus jenis Phocoenidae. Ikan paus ini di awal tahun mengikuti ikan kecil mangsanya ke perairan sungai Elbe. Datangnya mereka menjadi bukti bahwa air Elbe semakin sehat.

Apa yang dilakukan oleh Jerman dalam menyulap Sungai Elbe yang dulu mendapat gelar calon sungai mati dan sekarang menjadi sungai bersih, bukan tidak mustahil dapat juga diterapkan di Indonesia. Optimisme pemerintah pun juga datang kala banyak munculnya dukungan penuh dari masyarakat untuk mulai peduli terhadap lingkungan.

Citarum sebetulnya potensial

Sungai Citarum sejatinya memiliki potensi air luar biasa. Dari hulu hingga hilir, sekitar 420 ribu hektar tanaman padi, airnya dipasok dari Citarum melalui sejumlah irigasi. Citarum juga  merupakan sumber dari denyut nadi perekonomian Indonesia sebesar 20% GDP (Gross Domestic Product) dengan hamparan industri yang berada di sepanjang sungai Citarum. (Sumber: Greenpeace Indonesia)

Total Potensi Air di wilayah sungai Citarum adalah sebesar 13 milyar m3 /tahun. Potensi air yang sudah dimanfaatkan sebanyak 7.5 milyar m3 /tahun (57.9%) dan yang belum dimanfaatkan 5.45 milyar m3 /tahun (42.1%) (Sumber: Studi Umum Permasalahan dan Solusi DAS Citarum serta Analisis Kebijakan Pemerintah, Institut Teknologi Bandung, 2012)

Mengutip dari citarum.org, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (15.000 Ha) dan Taman Nasional Gunung Halimun (40.000 Ha) terletak di wilayah Sungai Citarum. Gunung Halimun salah satu kawasan hutan hujan tropis di pulau Jawa, sedangkan Gunung Gede Pangrango yang  diselimuti dengan vegetasi pegunungan merupakan salah satu kawasan hutan hujan utama di Indonesia. Gunung Gede merupakan sumber dari beberapa mata air sungai yang menuju ke Teluk Jakarta dan bermuara di Laut Jawa, termasuk salah satunya adalah Sungai Citarum.
Sungai Citarum juga merupakan pemasok air baku untuk  air minum rumah tangga, perkotaan dan industri bagi wilayah Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi, Karawang, dan DKI. Pasokan air baku wilayah DKI sebesar 16,1 m3/dt berasal dari Sungai Bekasi dan Saluran Tarum Barat (Sumber: citarum.org)

Sumber Foto: Citarum.org

Selain itu, terdapat lima bendungan di wilayah Sungai Citarum yang tiga diantaranya merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yaitu: PLTA Saguling  dengan kapasitas 750 MW, PLTA Cirata dengan kapasitas 1000 MW, dan PLTA Ir. H. Djuanda atau yang dikenal dengan PLTA Jatiluhur dengan kapasitas 187,5 MW. Bendungan lainnya adalah Cileunca dan Cipanjuang.

Mari berpikir sebelum bertindak

Ketika Citarum ‘marah’ dan mulai menumpahkan kemarahannya ke kota dan desa, apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya meninggalkan rumah beserta isinya, mencari tempat pengungsian yang aman dan tidak tergenang banjir. Masyarakat kita telah memaklumi kejadian tersebut dan menjalani aktivitas itu dengan gampangnya sebagai rutinitas tahunan, mulai merasa terbiasa dan menerimanya sebagai nasib yang tak terelakkan. 

Pemerintah berbicara pembangunan dalam hal ini infrastruktur harus didahulukan. Karena berdasarkan analisis mereka, infrastruktur dapat menunjang roda perekonomian masyarakat. Kita lihat saja, pembangunan jalan tol, bandara, jalur kereta, hingga terminal. Lalu perumahan, kawasan industri, pusat perdagangan, pusat logistik.
Namun, dimanakah sungai? Mengapa sungai tak ada dalam daftar panjang pembangunan? Apakah karena sungai sudah pasti menerima nasib sebagai kenyataaan alam dan dibiarkan bekerja sendiri?
Sudah seperti rumus matematika, alam tidak akan ‘marah’ dan melakukan ‘serangan balik’ manakala apa yang disebut ‘pembangunan’ tadi bukan berwujud perusakan. Selama ini, masyarakat kita memperlakukan sungai sebagai tempat pembuangan—hajat manusia, sampah rumah tangga, maupun limbah pabrik. Bukan setahun, tapi berpuluh-puluh tahun.
Tak bisa disangkal, mengubah perlakuan kita terhadap sungai bukanlah perkara mudah, tapi tentu tidak mustahil. Bagaimana kita memperlakukan sungai berawal dari cara berpikir: Apakah sungai adalah sumber kehidupan? Atau justru sungai adalah tempat ‘segala’ pembuangan? 

Masyarakat yang menjawab sungai adalah sumber kehidupan, sudah pasti mereka akan merawatnya dengan rasa hormat. Mulai dari sekarang mari berpikir sebelum bertindak. Karena dari situ niscaya akan muncul perubahan.

Referensi:


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROPOSAL PENELITIAN SOSIOLOGI AGAMA

PRAKTIKUM 3 AKHLAK TASAWUF

NIKMAT SHALAT DHUHA